Syeikh
Ahmad Khatib al-Minankabawi – Imam dan khatib Masjid al-Haram Mekah -, Pelopor
Gerakan Pembaruan di Minangkabau dan Tanah jawi (Nusantara)
Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).[1]
Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).[1]
Syekh
Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti
penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi (lahir Isnin, 6 Zulhijjah 1276
H/26 Jun 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Mac 1916 M) dalam catatan
lainnya beliau dilahirkan pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai, yang
adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek
Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung.
Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto,
Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai
Bukittinggi.
Baik
dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari
kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak
dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek dan Ampek Angkek.
Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan
berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat,
dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga
Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Sejak
kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan
Belanda di kota
kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871
dibawa oleh ayahnya. Setelah berada di Mekah barulah beliau mendapat pendidikan
agama yang mendalam daripada ulama Mekah terutama Sayid Bakri Syatha, Sayid
Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki dan
lain-lain. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan
seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh
Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke
daerah asalnya.
Syekh
Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama
sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Syeikh Ahmad
Khatib al-Minankabawi – Imam dan khatib Masjid al-Haram Mekah. Sebagai imam
dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk
mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di
Mesir.
Dalam
penelitian yang dilakukan, didapati Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy adalah
seorang ulama yang paling banyak melakukan polemik dalam pelbagai bidang.
Sebagai catatan ringkas di antaranya ialah polemik dengan golongan pemegang
adat Minangkabau, terutama tentang hukum pusaka.
Syeikh
Ahmad Khatib al-Minangkabawy menyanggah beberapa pendapat Barat tentang
kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta peredaran planet-planet lainnya yang
beliau anggap bertentangan dengan pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif
dalam bidang itu.
Sehubungan
ini, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy sangat menentang ajaran Kristian
terutama tentang `triniti’. Dalam permasalahan mendirikan masjid untuk solat
Jumaat, Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy berkontroversi dengan Sayid Utsman
(Mufti Betawi) dan beberapa ulama yang berasal dari Palembang dan ulama-ulama
Betawi lainnya.
Syekh
Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di Minangkabau,
yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang
dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya,
diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya.
Pemahaman
dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian
dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi,
dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan,
pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan
Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi
pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan
bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan
masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris
kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta
rampasan.read more atau download disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar