Pengertian Ijtihad, Kedudukan, Dasar Hukum, dan Syarat-Syarat Ijtihad
Kata ijtihad
(ar-ijtihad) berakar dari kata al-Juhd yang berarti al-taqhah (daya, kemampuan,
kekuasaan) atau dari kata al-Jahd yang berarti al masyqqah (kesulitan, kesukaran).
Dari ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna “badal al wus” wal
mahud” (pengerahan daya kemampuan), atau pengerahan segala daya kemampuan dalam
suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang sukar dan berat.
Dari pengertian
kebahasaan terlihat dua unsur pokok dalam ijtihad, daya atau kemampuan 2 objek
yang sulit dan berat. Daya dan kemampuan disni dapat diklasifikasikan secara
umum, yang meliputi daya, fisik-material, mental-spiritual dan intelektual.
Ijtihad sebagai terminology keilmuan dalam Islam juga tidak terlepas dari
unsur-unsur tersebut. Akan tetapi karena kegiatan keilmuan lebih banyak
bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian ijtihad lebih banyak
mengarah pada pengerahan kemampuan intelektual dalam memecahkan berbagai bentuk
kesulitan yang dihadapi, baik yang dihadapi individu maupun umat manusia secara
menyeluruh. Dalam rumusan definisi ijtihad yang dikemukakan ibnu Hazm berbunyi;
“Ijtihad dalam
syariat ialah pencurahan kemampuan dalam mendapatkan hukum suatu kasus dimana
hukum itu tidak dapat diperoleh”.
Ijtihad diberlakukan
dalam berbagai bidang, yakni mencakup akidah, mu’amalah (fiqih), dan falsafat.
Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah mengenai kedudukan
hasil ijtihad. Persoalan tersebut berawal dari pandangan mereka tentang ruang
lingkup qath’i tidaknya suatu dalil. Ulama ushul memandang dalil-dalil yang
berkaitan dengan akidah termasuk dalil qath’i, sehingga dibidang ini tidak
dilakukan ijtihad. Mereka mengatakan bahwa kebenaran mujtahid di bidang ilmu
kalam hanya satu. Sebaliknya, golongan mutakalimin memandang bahwa di bidang
ilmu kalam itu terdapat hal-hal yang zhaniyat, karena ayat-ayat Al-Qur’an yang
berkaitan dengan persoalan tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat Read More
Tidak ada komentar:
Posting Komentar