SUYANTO PAWIROHARSONO
Direktorat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Pendahuluan
Flavonoida dan isoflavonoida adalah salah satu golongan senyawa metabolit sekunder yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan, khususnya dari golongan Leguminoceae (tanaman berbunga kupu-kupu). Kandungan senyawa flavonoida sendiri dalam tanaman sangat rendah, yaitu sekitar 0,25%. Senyawa-senyawa tersebut pada umumnya dalam keadaan terikat/konjugasi dengan senyawa gula (Snyder dan Kwon, 1987).
Senyawa isoflavon terdistribusi secara luas pada bagian-bagian tanaman, baik pada akar, batang, daun, maupun buah, sehingga senyawa ini secara tidak disadari juga terikut dalam menu
makanan sehari-hari. Bahkan, karena sedemikian luas distribusinya dalam tanaman maka dikatakan bahwa hampir tidak normal apabila suatu menu makanan tanpa mengandung senyawa flavonoid. Hal tersebut menunjukkan bahwa senyawa flavon tidak membahayakan bagi tubuh dan bahkan sebaliknya dapat memberikan manfaat pada kesehatan.
Senyawa flavonoida untuk obat mula-mula diperkenalkan oleh seorang Amerika bernama Gyorgy (1936) yang sekaligus sebagai pionir (pembuka) penggunaan senyawa tersebut di bidang terapeutik. Secara tidak sengaja, beliau memberikan ekstrak vitamin C (asam askorbat) ke seorang dokter untuk mengobati penderita pendarahan kapiler subkutaneus dan ternyata pasien dapat disembuhkan. Namun, pada pengobatan terhadap pasien yang lain dengan menggunakan ekstrak vitamin C yang dimurnikan, ternyata ekstrak ini tidak dapat menyembuhkan penderita. Kembali pada ekstrak tidak murni tersebut, akhirnya Gyorgy menemukan senyawa yang disebut sebagai senyawa "bioflavonoids" atau vitamin P yang dinyatakan sebagai anti-hemorrhage (pendarahan).
Kedelai Sebagai Sumber Senyawa Isoflavon
Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak disintesa oleh tanaman. Namun, tidak sebagai layaknya senyawa metabolit sekunder karena senyawa ini tidak disintesa oleh mikroorganisme. Dengan demikian, mikroorganisma tidak mempunyai kandungan senyawa ini. Oleh karena itu, tanaman merupakan sumber utama senyawa isoflavon di alam. Di berbagai antara tanaman, kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada tanaman Leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai. Pada tanaman kedelai, kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada biji kedelai, khususnya pada bagian hipokotil (germ) yang akan tumbuh menjadi tanaman. Sebagian lagi terdapat pada kotiledon yang akan menjadi daun pertama dari tanaman (Anderson, 1997).
Kandungan isoflavon pada kedelai berkisar 2--4 mg/g kedelai. Senyawa isoflavon ini pada umumnya berupa senyawa kompleks atau konjugasi dengan senyawa gula melalui ikatan glukosida. Jenis senyawa isoflavon ini terutama adalah genistin, daidzin, dan glisitin. Bentuk senyawa demikian ini mempunyai aktivitas fisiologis kecil.
Selama proses pengolahan, baik melalui proses fermentasi maupun proses non-fermentasi, senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi, terutama melalui proses hidrolisa sehingga dapat diperoleh senyawa isoflavon bebas yang disebut aglikon yang lebih tinggi aktivitasnya. Senyawa aglikon tersebut adalah genistein, glisitein, dan daidzein.
Masyarakat Indonesia yang secara tradisi telah lama mengkonsurnsi kedelai dalam bentuk produk-produk olahan seperti tahu, tempe, tauco, dan kecap, banyak diuntungkan dalam berbagai faktor karena produk tersebut mengandung nilai gizi tinggi, khususnya sebagai sumber protein; harganya relatif murah; mengandung senyawa aktif, khususnya isoflavon yang banyak mempunyai aktivitas fisiologis; serta produk yang dikonsumsi merupakan produk hasil olahan sehingga telah terjadi proses dekomposisi senyawa isoflavon kompleks menjadi senyawa isoflavon aglikon yang aktif.
Bentuk-bentuk produk olahan makanan tersebut sekaligus merupakan sumber isoflavon potensial untuk menunjang kesehatan tubuh kita. Berdasarkan hal tersebut maka mengkonsumsi kedelai dalam bentuk produk olahan terfermentasi lebih dianjurkan. Berbagai contoh kandungan isoflavon pada kedelai dan produk olahan terdapat pada Tabel 1.
Mengingat berbagai potensi kedelai sebagai sumber gizi dan senyawa aktif serta prospeknya untuk dikembangkannya produk-produk baru, kedelai banyak disebut sebagai the golden bean, the miracle bean, food for the future, dan sebagainya.
Isoflavon pada Tempe dan Prospek Pemanfaatannya
Tempe adalah salah satu makanan tradisional yang dibuat dari kedelai melalui proses fermentasi kapang, terutama Rhizopus oligosporus. Di Indonesia terdapat berbagai jenis tempe sesuai dengan jenis bahan baku yang digunakan sehingga dijumpai tempe kecipir, tempe kara, tempe benguk, tempe gembus, tempe bongkrek, dan sebagainya. Bila disebut tempe saja, maka pada umumnya diartikan sebagai tempe kedelai.
Tempe merupakan makanan bergizi tinggi sehingga makanan ini mempunyai arti strategis dan sangat penting untuk pemenuhan gizi. Lebih dari itu, tempe mempunyai keunggulan-keunggulan lain, yaitu mempunyai kandungan senyawa aktif; teknologi pembuatannya sederhana; harganya murah; mempunyai citarasa yang enak; dan mudah dimasak.
Senyawa isoflavon merupakan salah satu komponen yang juga mengalami metabolisme. Senyawa isoflavon ini pada kedelai berbentuk senyawa konjugat dengan senyawa gula melalui ikatan -O- glikosidik. Selama proses fermentasi, ikatan -0- glikosidik terhidrolisa, sehingga dibebaskan senyawa gula dan isoflavon aglikon yang bebas. Senyawa isoflavon aglikon ini dapat mengalami transformasi lebih lanjut membentuk senyawa transforman baru.
Hasil transformasi lebih lanjut dari senyawa aglikon ini justru menghasilkan senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas biologi lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh Murata (1985) yang membuktikan bahwa Faktor-II (6,7,4' tri-hidroksi isoflavon) mempunyai aktivitas antioksidan dan antihemolisis lebih baik dari daidzein dan genistein. Selain itu, Jha (1985) menemukan bahwa senyawa isoflavon lebih aktif 10 kali dari senyawa karboksikroman. Hasil akhir dari transformasi isoflavon selama fermentasi tempe dan potensi pemanfaatanya untuk obat terlihat pada tabel 2.
Transformasi Pembentukan Faktor-II
Faktor-II (6,7,4' tri-hidroksi isoflavon) merupakan senyawa yang sangat menarik perhatian, karena senyawa ini tidak terdapat pada kedelai dan hanya terdapat pada tempe. Senyawa ini terbentuk selama proses fermentasi oleh aktivitas mikroorganisme. Senyawa ini mula-mula ditemukan kembali oleh Gyorgy (1964) pada ekstrak tepung tempe. Perkembangan selanjutnya terbukti bahwa Faktor-II tersebut pada kedelai jumlahnya sangat kecil. Ia merupakan senyawa konjugat/terikat dengan senyawa karbohidrat melalui ikatan glikosidik. Setelah fermentasi oleh Faktor-II, akan dibebaskan walaupun jumlahnya sangat kecil.
Faktor-II dipandang sebagai senyawa yang sangat prospektif sebagai senyawa antioksidan (10 kali aktivitas dari vitamin A atau karboksi kroman dan sekitar 3 kali dari senyawa isoflavon aglikon lainnya pada tempe) serta antihemolitik (Jha, 1985). Dengan demikian, karakterisasi mikroorganisme transforman Faktor-II perlu diteliti. Menurut penelitian Barz dkk. (1993) biosintesa Faktor-II dihasilkan melalui demetilasi glisitein oleh bakteri Brevibacterium epidermis dan Micrococcus luteus atau melalui reaksi hidroksilasi daidzein. Reaksi biosintesa Faktor-II terlihat pada gambar 1
Biosintesa Senyawa Flavon/Isoflavon
Flavon/isoflavon yang terdiri atas struktur dasar C6-C3-C6, secara alami disintesa oleh tumbuh-tumbuhan dan senyawa asam amino aromatik fenil alanin atau tirosin. Biosintesa ini berlangsung secara bertahap dan melalui sederetan senyawa antara, yaitu asam sinnamat, asam kumarat, calkon, dan flavon serta isoflavon.
Berdasarkan biosintesa tersebut maka flavon/isoflavon digolongkan sebagai senyawa metabolit sekunder. Pada umumnya, senyawa metabolit sekunder disintesis oleh mikroba tertentu dan tidak merupakan kebutuhan fisiologis pokok dari mikroba itu sendiri, baik untuk pertumbuhan maupun untuk aktivitas kehidupannya. Meskipun tidak dibutuhkan untuk pertumbuhan, senyawa metabolit sekunder dapat juga berfungsi sebagai nutrien darurat untuk mempertahankan hidup. Senyawa metabolit sekunder biasanya terbentuk setelah fase pertumbuhan logaritmik atau pada fase stationer, sebagai akibat keterbatasan nutrien dalam medium pertumbuhannya. Keterbatasan nutrien dalam medium akan merangsang dihasilkanya enzim-enzim yang berperan untuk pembentukan metabolit sekunder dengan memanfaatkan metabolit primer guna mempertahankan kelangsungan hidup. Isoflavon termasuk dalam golongan flavonoid (1,2-diarilpropan) dan merupakan bagian kelompok yang terbesar dalam golongan tersebut. Senyawa isoflavon dalam tanaman kacang-kacangan atau Legummoceae merupakan salah satu karakteristik/sifat yang dapat digunakan untuk identifikasi/klasifikasi tanaman.
Meskipun isoflavon merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder, namun ternyata pada mikroba seperti bakteri, algae, jamur, dan lumut tidak mengandung isoflavon, karena mikroba tersebut ternyata tidak mempunyai kemampuan untuk mensintesa. Meskipun demikian, mikroba-mikroba tertentu mampu untuk melakukan transformasi senyawa isoflavon (Luckner, 1984).
Bioaktivitas dan Struktur
Aktivitas fisiologis senyawa isoflavon telah banyak diteliti dan ternyata menunjukkan bahwa berbagai aktivitas berkaitan dengan struktur senyawanya (Oilis, 1962). Aktivitas suatu senyawa ditentukan pula oleh gugus-gugus yang terdapat dalam struktur tersebut. Dengan demikian, dengan cara derivatisasi secara kimia dan secara biologis, dapat dibentuk senyawa-senyawa aktif yang diinginkan. Murakami (1984) mengemukakan bahwa aktivitas antioksidan ditentukan oleh bentuk struktur bebas (aglikon) dari senyawa.
Selanjutnya, Hudson (dalam Achmad, 1990) menyatakan bahwa aktivitas tersebut ditentukan oleh gugus -OH ganda, terutama dengan gugus C=0 pada posisi C-3 dengan gugus -OH pada posisi C-2 atau pada posisi C-5. Hasil transformasi isoflavon selama fermentasi tempe daidzein, genistein, glisitein, dan Faktor-II, ternyata memenuhi kriteria tersebut. Sistem gugus fungsi demikian memungkinkan terbentuknya kompleks dengan logam.
Aktivitas estrogenik isoflavon ternyata terkait dengan struktur kimianya yang mirip dengan stilbestrol, yang biasa digunakan sebagai obat estrogenik. Bahkan, senyawa isoflavon mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dari stilbestrol. Oilis (1962) menunjukkan bahwa daidzein merupakan senyawa isoflavon yang aktivitas estrogenik-nya lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa isoflavon lainnya.
Aktivitas antiinflamasi ditunjukkan oleh gugus C=0 pada posisi C-3 dan gugus -OH pada posisi C-5 yang dapat membenluk kompleks dengan logam besi, seperti quersetin. Sedang aktivitas anti-ulser ditunjukkan oleh struktur gugus -OH yang bersebelahan, seperti pada mirisetin.
Sebagaimana diperlihatkan oleh Graham dan Graham (1991) bahwa senyawa formononitin dan gliseolin berpotensi untuk membunuh kapang patogen sehingga berpotensi sebagai senyawa pestisida (biopestisida). Di atas disebutkan bahwa senyawa isoflavonoida banyak mempunyai aktivitas biologis. Mekanisme aktivitas senyawa ini dapat dipandang sebagai fungsi "alat komunikasi" (molecular messenger) dalam proses interaksi antar sel yang selanjutnya mempengaruhi proses metabolisma sel atau makhluk hidup yang bersangkutan. Dalam hal ini, dapat secara negatif (menghambat) maupun secara positif (menstimulasi).
Oilis (1962) memperlihatkan fungsi isoflavon sebagai pengendali pertumbuhan (hormonal) seperti genistein dan daidzein yang juga mempunyai sifat estrogenik. Proteksi terhadap makhluk patogen yang berpotensi untuk membunuh kapang patogen ditunjukkan oleh senyawa formononitin dan gliseolin (Graham dan Graham, 1991).
Potensi Pemanfaatan Senyawa Isoflavon untuk Kesehatan
Setelah senyawa flavonoida diperkenalkan oleh Gyorgy pada untuk penyembuhan perdarahan kapiler sub-kutan, senyawa ini makin banyak diteliti untuk terapi. Dikemukakan pula oleh Mc. Clure (1986) bahwa senyawa flavonoid yang diekstrak dan Capsicum anunuum serta Citrus limon juga dapat menyembuhkan pendarahan kapiler sub-kutan.
Mekanisme aktivitas senyawa ini dapat dipandang sebagai fungsi "alat komunikasi" (molecular messenger) dalam proses interaksi antar sel, yang selanjutnya dapat berpengaruh terhadap proses metabolisme sel atau makhluk hidup yang bersangkutan. Dalam hal ini, pengaruh tersebut dapat bersifat negatif (menghambat) maupun bersifat positif (menstimulasi).
Jenis senyawa isoflavon di alam sangat bervariasi. Di antaranya telah berhasil diidentifikasi struktur kimianya dan bahkan telah diketahui fungsi fisiologisnya dan telah dapat dimanfaatkan untuk obat-obatan. Berbagai potensi senyawa isoflavon untuk keperluan kesehatan antara lain:
Anti-inflammasi
Berbagai senyawa flavonoid telah banyak diteliti dan bahkan beberapa senyawa sudah diproduksi sebagai obat anti-inflammasi.
Loggia dkk., (1986) mengekstraksi apiginin dan luteolin dari tanaman Chamomilla recutita yang terkenal mempunyai potensi anti-inflammasi dan banyak digunakan baik sebagai obat tradisional maupun obat resmi yang telah diformulasikan oleh industri farmasi. Kedua senyawa flavonoida tersebut mampunyai aktivitas anti-inflamasi serupa dengan indomethacin, yaitu jenis obat anti-inflammasi yang telah banyak dipasarkan. Dari hasil penelitiannya, dapat dicatat pula bahwa senyawa flavonoid tersebut harus dalam keadaan "bebas" atau aglikon. Artinya, tidak dalam keadaan terikat dengan senyawa lain, misalnya dalam bentuk ikatan glikosida.
Di samping senyawa flavonoida alami, terdapat pula senyawa flavonoid sintesis atau semi-sintesis yang berpotensi sebagai obat anti-inflammasi, yaitu O-ß- hidroksiethil rutin dan derivat quercetin.
Mekanisme anti-inflammasi menurut Loggia, dkk., (1986), terjadi melalui efek penghambatan pada jalur metabolisme asam arakhidonat, pembentukan prostaglandin, pelepasan histamin, atau aktivitas "radical scavenging" suatu molekul. Melalui mekanisme tersebut, sel lebih terlidung dari pengaruh negatif, sehingga dapat meningkatkan viabilitas sel. Senyawa flavonoida lain yang dapat berfungsi sebagai anti-inflamasi adalah toksifolin, biazilin, haematoksilin, gosipin, prosianidin, nepitrin, dan lain-lain.
Anti-tumor/Anti-kanker
Senyawa flavonoida dan isoflavonoida banyak disebut-sebut berpotensi sebagai antitumor/antikanker. Proses pembentukan penyakit kanker dapat dibagi dalam 2 (dua) fase, yaitu fase inisiasi dan fase promosi. Senyawa flavonoida seperti quercetin dan kaemferol terbukti sebagai senyawa mutagenik pada sel-sel prokariotik dan eukariotik (Fujiki, dkk., 1986). Karena sifat inilah maka senyawa-senyawa flavonoida tersebut semula diduga sebagai inisiator terbentuknya sel tumor. Hal ini berkenaan dengan realitas bahwa semua inisiator bersifat mutagenik (menyebabkan mutasi pada DNA atau kerusakan irreversibel). Namun, dugaan tersebut ternyata salah mengingat tidak terbukti pada tikus. Bahkan, senyawa flavonoida tersebut terbukti menghambat aktivitas senyawa promotor terbentuknya tumor, sehingga senyawa-senyawa di atas disebut sebagai antitumor.
Dari sejumlah senyawa flavonoida dan isoflavonoida tersebut, yang banyak disebut-sebut berpotensi sebagai antitumor/antikanker adalah genestein yang merupakan isoflavon aglikon (bebas). Potensi tersebut antara lain menghambat perkembangan sel kanker payudara (Lamastiniere dkk., 1997) dan sel kanker hati (Hendrich, dkk., 1997). Penghambatan sel kanker oleh senyawa flavon/isoflavon ini terjadi khususnya pada fase promosi (Fujiki dkk., 1986).
Genestein yang merupakan salah satu komponen isoflavon tersebut juga terdapat pada kedelai dan tempe. Penghambatan sel kanker oleh genestein ini diterangkan oleh Peterson dkk., (1997) melalui mekanisma sebagai berikut:
- Penghambatan pembelahan/proliferasi sel (baik sel normal, sel yang terinduksi oleh faktor pertumbuhan sitokinin, maupun sel kanker payudara yang terinduski dengan nonil-fenol atau bi-fenol A) yang diakibatkan oleh penghambatan pembentukan membran sel, khususnya penghambatan pembentukan protein yang mengandung tirosin.
- Penghambatan aktivitas enzim DNA isomerase II
- Penghambatan regulasi siklus sel
- Sifat antioksidan dan anti-angiogenik yang disebabkan oleh sifat reaktif terhadap senyawa radikal bebas
- Sifat mutagenik pada gen endoglin (gen transforman faktor pertumbuhan betha atau TGFß). Mekanisme ini dapat berlangsung apabila konsentrasi genestein lebih besar dari 5 µM.
Anti-virus
Senyawa flavonoid sebagai anti-virus mula-mula diketemukan pada senyawa quercetin yang berefek "propilaktik" apabila diberikan pada tikus putih yang terinfeksi intraserebral dengan berbagai lenis virus (Selway, 1986). Pengaruh antivirus apabila dikaitkan dengan strukturnya maka terlihat adanya korelasi di mana sifat antivirus terutama ditunjukkan oleh senyawa aglikon. Sebaliknya, senyawa isoflavon dalam bentuk ikatan o-glikosida tidak mempunyai efek antivirus (eg: rutin dan naringin).
Mekanisme penghambatan senyawa flavonoida pada virus diduga terjadi melalui penghambatan sintesa asam nukleat (DNA atau RNA) dan pada translasi virion atau pembelahan dari poliprotein. Percobaan secara klinis menunjukkan bahwa senyawa flavonoida tersebut berpotensi untuk penyembuhan pada penyakit demam yang disebabkan oleh rhinovirus, yaitu dengan cara pemberian intravena dan juga terhadap penyakit hepatitis-B. Sementara itu, berbagai percobaan lain untuk pengobatan penyakit liver masih terus berlangsung.
Anti-allergi
Senyawa flavonoida khellin (dimethoxy-methyl-furano-chromone) yang terdapat pada tanaman Ammi visnaga, telah berhasil diformulasikan menjadi obat (FPL-670: disodium kromoglikat), antara lain untuk penyakit asma, rhinitis, konjunctivitis, dan gastro-intestinal (Gabor, 1986).
Aktivitas anti-allergi bekerja melalui mekanisme sebagai berikut:
- Penghambatan pembebasan histamin dari sel-sel "mast", yaitu sel yang mengandung granula histamin, serotinin, dan heparin.
- Penghambatan pada enzim oxidative nukleosid-3', 5' siklik monofosfat fosfodiesterase, fosfatase alkalin, dan penyerapan Ca.
- Berinteraksi dengan pembentukan fosfoprotein.
Pengaruh pada Sistem Sirkulasi dan Penyakit Jantung Koroner
Berbagai pengaruh positif isoflavon terhadap sistem peredaran darah dan penyakit jantung banyak ditunjukkan oleh para peneliti pada aspek yang berlainan. Hasil penelitian Chen dkk., (1986) menyatakan bahwa isoflavon dan poli-metoksiflavone yang diekstrak dari tanaman Leguminosa Milletha riticalata dan Baishinia champiomi yang terikat pada protein, mempunyai sifat menghambat agregasi platelet (keping-keping sel darah), dilatan koroner, dann menghambat introphy otot jantung (cardio trophyc) sehingga dapat memperlancar sistem sirkulasi darah.
Murata dan Ikehata (1968) mengatakan bahwa efek antihemolisis (pecahnya sel-sel darah merah) dari ekstrak tempe naik berbanding lurus dengan waktu inkubasi. Hasil ekstraksi tersebut, setelah dikristalisasi dan diidentifikasi, ternyata mempunyai struktur 6, 7, 4'-trihidroksi isoflavon (Faktor-II) dengan daya antihemolisis setaraf dengan vitamin E dalam percobaannya pada darah yang tanpa atau telah diinduksi lebih dulu dengan asam dialurat.
Di samping aktivitas tersebut, senyawa flavon mempunyai aktivitas vasodilator yang telah dijual dalam bentuk obat, yaitu Crataegut (Schwabe) dan Cratylene (Madaus) yang diekstrak dari tanaman Citaegus oxycantha. Obat lain yang berpotensi pula untuk melancarkan sirkulasi darah yaitu Tebonin (Schwabe) yang diekstrak dari tanaman Ginko biloba (Achmad, 1990).
Studi di Universitas Yale menunjukkan bahwa pasien penderita (Osler-Weber-Rendu atau OWR) dengan diet kedelai hampir dapat menghentikan perdarahan hidung. OWR adalah penyakit keturunan dimana pasien menderita perdarahan hidung pada periode tertentu karena mutasi genetik yang menyebabkan kerusakan protein yang berfungsi sebagai signal terhadap hormon TGF-ß (transforming growth factor-betha). Penghentian perdarahan ini dapat diteranngkan melalui fungsi isoflavon sebagai interface dengan TGF-ß.
Khususnya isoflavon pada tempe yang aktif sebagai antioksidan, yaitu 6,74' tri hidroksi isoflavan, terbukti berpotensi sebagai anti-kontriksi pembuluh darah (konsentrasi 5 µg/ml) dan juga berpotensi menghambat pembentukan LDL (low density lipoprotein). Dengan demikian, isoflavon dapat mengurangi terjadinya arteriosclerosis pada pembuluh darah (Jha, 1985; Jha, 1997).
Pengaruh isoflavon terhadap penurunan tekanan darah dan risiko CVD (cardio vascular desease) banyak dihubungakan dengan sifat hipolipidemik dan hipokholesteremik senyawa isoflavon (Teramoto, dkk. 2000).
Estrogen dan Osteoporosis
Estrogen merupakan hormon yang diproduksi terutama oleh ovarium dan sebagian oleh ginjal pada bagian korteks adrenalis. Dalam tubuh kita berfungsi antara lain untuk pertumbuhan secara normal, serta untuk memelihara kesehatan tubuh pada orang dewasa, baik pada wanita maupun pada pria. Khusus pada wanita, hormon ini peranannya lebih luas, tidak saja berfungsi sebagai sistem reproduksi, tetapi juga berfungsi untuk tulang, jantung, dan mungkin juga otak (Barnes dan Kein, 1998).
Pada wanita menjelang menopause, produksi estrogen menurun sehinngga dapat menimbulkan berbagai gangguan. Untuk itu, perlu dipikirkan bagaimana mensubstitusi hormon agar fungsi hormonalnya masih dapat dipertahankan. Dalam keadaan demikian, penggunaan estrogen yang dikombinasikan dengan progesteron sinttetik (hormon RT) dapat mencegah proses osteoporosis. Di sisi lain, dikatakan bahwa estrogen juga dapat mencegah risiko kanker.
Dalam melakukan kerjanya, estrogen membutuhkan estrogen reseptor (ERs) yang dapat "on/off" di bawah kendali gen pada kromosom yang disebut _-ER. Beberapa target organ seperti pertumbuhan dada, tulang, dan empedu bersifat responsif terhadap _-ER ini. Isoflavon, khususnya genistein, dapat terikat dengan _-ER. Walaupun ikatannya lemah, tetapi dengan ß-ER mempunyai ikatan sama dengan estrogen.
Senyawa isoflavon terbukti juga mempunyai efek hormonal, khususnya efek estrogenik. Efek estrogenik ini terkait dengan struktur isoflavon yang dapat ditransformasikan menjadi equol, dimana equol ini mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen. Mengingat hormon estrogen berpengaruh pula terhadap metabolisme tulang, terutama proses klasifikasi, maka adanya isoflavon yang bersifat estrogenik dapat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses klasifikasi. Dengan kata lain, isoflavon dapat melindungi proses osteoporosis pada tulang sehingga tulang tetap padat dan masif.
Anti-kolesterol
Efek isoflavon terhadap penurunan kolesterol telah terbukti tidak saja pada binatang percobaan seperti tikus dan kelinci, tetapi juga pada manusia. Efek yang lebih luas terbukti pula pada perlakuan terhadap tepung kedelai, di mana tidak saja kolesterol yang turun, tetapi juga trigliserida VLDL (very low density lipoprotein) dan LDL (low density lipoprotein). Di sisi lain, tepung kedelai dapat meningkatkan HDL (high density lipoprotein) (Amirthaveni dan Vijayalaksha, 2000). Menurut Zilliken (1987), Faktor-II (6,7,4' tri-hidroksi isoflavon) merupakan senyawa isoflavon yang paling besar pengaruhnya.
Mekanisme lain penurunan kolesterol oleh isoflavon diterangkan melalui pengaruh terhadap peningkatan katabolisme sel lemak untuk pembentukan energi, yang berakibat pada penurunan kandungan kolesterol (Sekiya, 2000).
Penutup
Mengingat potensi kandungan isoflavon pada kedelai dan produk-produk turunannya, maka pengembangan produk dalam bentuk makanan fungsional/makanan kesehatan dipandang sebagai upaya terobosan yang mempunyai arti strategis, baik ditinjau dan segi tekno-ekonomi maupun dan segi kesehatan. Berdasarkan potensi senyawa isoflavon maka berbagai jenis produk dapat didesain, baik kandungan maupun bentuknya, sesuai dengan tujuan pembuatan produk. Untuk itu, penelitian terapan dan investasi diperlukan untuk realisasi pengembangan produk-produk tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar